BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wudhu adalah syari’at (tatanan) agama yang mempunyai
makna bersih, baik bersih dari kotoran, najis, atau lainnya. Dengan melakukan
wudhun seseorang diperbolehkan melakukan ibadah yang asalnya di larang sebab
hadats kecil. Di syari’atkannya wudhu bersamaan dengan shalat lima waktu, yaitu
ketika nabi Muhammad SAW melakukan isro’ mi’roj.
Namun sebenarnya Nabi sudah pernah melakukan wudhu
sebelum isro’ mi’roj, yaitu ketika permulaan Nabi SAW di utus menjadi Nabi,
kemudian beliau didatangi malaikat jibril untuk diajari wudhu yang kemudian
beliau diajak untuk melakukan shalat dua raka’at (Shalat sunnah dua raka’at).
Wudhu merupakan syari’at Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya, seperti
memperluas basuhan muka dan memperpanjang basuhan tangan pada ajaran nabi kita.
Dengan melakukan wudhu sesuai dengan criteria yang ada di
salah satu madzhab empat ( Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam
Hambali) berarti penghalang ma’nawi yang melarang melakukan hal yang
disyari’atkan suci telah sirna, sehingga diperbolehkan melaksanakan sholat,
thowaf, atau yang lainnya dari hal-hal yang di larang sebab hadats kecil. Penghalang
ma’nawi dapat kembali sebab melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu,
diantaranya mengeluarkan sesuatu dari salah satu dua jalan (depan dan
belakang), namun beragam perbedaan dikalangan madzhab alm arba’ah mengenai
hal-hal yang termasuk kategori membatalkan wudhu.
A.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang di maksud
dengan wudhu?
2.
Apa saja yang
membatalkan wudhu?
3.
Bagaimana pendapat para
Imam Madzhab mengenai hal yang membatalkan wudhu?
B.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui arti
Wudhu.
2.
Untuk mengetahui hal-hal
yang membatalkan wudhu.
3.
Untuk mengetahui
pendapat para Imam Madzhab mengenai hal yang membatalkan wudhu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wudhu
Menurut bahasa wudhu artinya bersih dan
indah. Sedangkan menurut istilah wudhu ialah membasuh sebagian
anggota badan dengan air mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan cara
tertentu dan dengan disertai
niat untuk menghilangkan hadats kecil. Adapun
syarat-syarat sahnya seorang itu berwudhu diantaranya:
1. Islam
2. Tamyiz
3. Tidak berhadats besar
4. Dengan air mutlaq
B.
Hal-hal yang
Membatalkan Wudhu
Ada beberapa hal yang dapay
membatalkan wudhu, yaitu :
1.
Sesuatu yang keluar dari kubul atau dubur. Baik yang biasa keluar seperti
kencing, kentut dan buang air besar, maupun yang tidak biasa keluar seperti
darah, kerikil, nanah, dan ulat (keremi).
2.
Tidur.
3.
Hilang akal seperti gila, mabuk, pingsan.
4.
Bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, dengan syarat :
a.
Laki-laki dan perempuan itu sudah akhil baligh.
b.
Diantara kulit keduanya tidak ada kain atau apa saja yang membatasi.
c.
Bukan mukhrim.
d.
Dengan menggunakan kulit. Jika dengan rambut, gigi dan kuku maka tidak
membatalkan
5.
Menyentuh kemaluan (kubul dan dubur) manusia dengan telapak tangan bagian
dalam secara langsung tanpa penghalang, biak kemaluan wanita atau laki-laki,
baik orang dewasa atau anak-anak, baik kemaluan sendiri atau orang lain, baik
kemaluan orang hidup maupun orang yang sudah meninggal.[2]
6.
Keluarnya Mani (sperma), Madzi dan Wadzi.
C.
Pendapat Imam Madzhab tentang hal yang membatalkan Wudhu
1.
Keluar sesuatu dari dua jalan (kubul atau dubur).
Didalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. قَالَ رَجُلٌ مِنْ
حَضْرَمُوْتَ: مَا اْلحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْضُرَطٌ
Artinya:
“Shalat orang yang dalam
keadaan hadats tidak diterima kecuali dia berwudhu. Seorang laki-laki dari
hadramaut bertanya kepada Abu Hurairah, ‘apakah yang dimaksud hadats dalam
hadits ini?’ Abu Hurairah menjawab, ‘kentut.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum muslimin
telah sepakat bahwa keluarnya sesuatu dari dua jalan maka ia dapat membatalkan
wudhu. Akan tetapi ada pengecualian dari hukum hadits diatas, yaitu bagi orang
yang selalu hadats tanpa henti seperti orang yang beser dan sering kentut,
aturan bagi orang-orang yang seperti itu sama dengan aturan bagi wanita yang
keluar darah istihadhah.[3]
a.
Menurut Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hambali : keluarnya
ulat, batu kecil, darah, dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu.
b.
Menurut Imam Maliki : tidak sampai membatalkan wudhu, kalau
semuanya itu tumbuh didalam perut, tapi kalau tidak tumbuh didalamnya, seperti
orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari dubur, maka
ia dapat membatalkan wudhu.[4]
2.
Tidur.
Para imam madzhab sepakat bahwa tidur sambil berbaring dan bersandar dapat
membatalkan wudhu. Namun mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidur dalam
shalat, misalnya ketika rukuk.
a. Imam
Hanafi : Kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan
terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadi
batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak
batal. Barang siapa yang tidur pada saat sholat dan keadaannya tetap pada
posisi seperti shalat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama.
b. Imam
Malik : tidur ketika rukuk dan sujud jika lama, membatalkan wudhu. Namun jika
tidurnya ketika berdiri atau duduk maka wudhunya tidak batal. Membedakan
antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan
wudhu, begitu juga kalau tidur berat dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya
tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan waktunya panjang, ia dapat membatalkan
wudhu, baik anusnya tertutup maupun terbuka
c. Imam
Syafi’I dalam qaul jaded : jika tidurnya ditempat duduknya maka wudhunya tidak
batal. Namun jika tidak wudhunya batal. Sedangkan dalam qoul qodim, beliau
berpendapat bahwa tidur dalam keadaan apapun didalam sholat tidak membatalkan
wudhu. Tidak ada perbedaan antara tidur lama dan tidur singkat, meskipun ia
bermimpi, selama pantatnya tetap melekat pada tempat duduknya, sebab tidur itu
sendiri bukanlah hadats, melainkan dimungkinkan timbulnya hadats.
d. Imam
Hambali : jika tidurnya ketika berdiri,
duduk, rukuk, dan sujud itu lama maka wudhunya batal. Menurut Al-khaththabi
inilah pendapat paling shaih dari dua riwayat Imam Hambali.
3. Hilang akal seperti gila, mabuk,
pingsan.
Kondisi ini
bisa membatalkan wudhu secara mutlak berdasarkan kesepakatan para ulama.
Alasannya adalah karena hilangnya kesadaran pada tiga kondisi itu lebih hebat
daripada hiangnya kesadaran karena tidur. Firman Allah :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t»s3ß™ 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) “ÌÎ/$tã @@‹Î6y™ 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4’n?tã @xÿy™ ÷rr& uä!$y_ Ó‰tnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ‰÷ƒr&ur 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. #‚qàÿtã #·‘qàÿxî ÇÍÌÈ
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi, dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(Q.S An-Nisa:43)
4. Bersentuhan
Bersentuhan antara kulit lelaki dan perempuan yang
bukan muhrim dan masing-masing sudah baligh.
a. Imam Syafi’i mengatakan bahwa persentuhan kulit antara laki-laki
dewasa dan wanita dewasa (termasuk istri) membatalkan wudhu, walaupun tanpa
dibarengi rangsangan syahwat.[5] Tapi jika bukan wanita lain seperti
saudara wanita maka tidak batal wudhunya.
b.
Imam Hanafi
mengatakan wudhu itu tidak
batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi
pada kemaluan.
c.
Imam Maliki lebih
kondisional dalam menyikapi hal ini, yakni bersentuhan antara lelaki dan
perempuan itu membatalkan wudhu apabila:
a)
Lelaki yang menyentuh perempuan itu sudah baligh
b)
Sentuhan itu bermaksud untuk mendapatkan
kenikmatan, atau tidak bermaksud begitu, tapi ternyata merasa nikmat.
c)
Perempuan yang disentuh kulitnya terbuka atau
berpakaian tapi dengan kain yang tipis. Jadi kalau kain penutup itu tebal, maka
tidak batal wudhuya, kecuali bila persentuhan itu dengan cara memegang salah
satu anggota tubuh yang bertujuan untuk mendapat kenikmatan atau ternyata
merasa nikmat meski awalnya tidak bermaksud demikian.
d)
Orang yang disentuh tergolong perempuan yang sudah
dapat membangkitkan syahwat lelaki.
d.
Imam Hambali dengan tegas menetapkan bahwa sentuhan
antara lelaki dan perempuan jelas membatalkan wudhu. Apabila sentuhan itu
terjadi dengan syahwat tanpa ada penghalang. Tidak peduli apakah yang
bersentuhan itu masih muhrim atau bukan, dan apakah yang disentuh itu masih
hidup atau sudah mati, masih muda atau sudah tua, telah dewasa maupun masih
kecil, asal telah mencapai umur yang biasanya sudah dapat menimbulkan syahwat. Madzhab
ini menitik beratkan pada timbulnya syahwat atau tidak, jika sentuhannya timbul
syahwat maka batal. Dalil yang menjadi pijakan beliau adalah : Artinya :
“apabila kamu semua dalam keadaan sakit atau bepergian atau setelah buang hajat
atau menyentuh perempuan…”(Al-maidah :6)
5.
Menyentuh Kemaluan
a. Hanafiyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan, tidak
membatalkan wudhu maupun menyentuh kemaluan sendiri atau orang lain. Mereka
berpegang kepada hadits yang artinya: Seorang bertanya kepada Nabi: “ Saya
menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya
sewaktu shalat, haruskah ia berwudhu? Nabi menjawab, “Tidak, sesungguhnya ia
(kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR.Lima Ahli Hadits dan dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban).
b. Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang menyentuh
kemaluan wudhunya batal dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Orang itu menyentuh kemaluannya sendiri.
2. Orang itu sudah balig.
3. Sentuhan itu tanpa batas penghalang.
4. Sentuhan itu dengan bagian dalam telapak tangan, atau
bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari
atau ujung jari tangan.
Golongan Malikiyah, tidak
mempersoalkan, apakah sentuhan itu merasakan nikmat atau tidak, asal sudah
memenuhi ketentuan di atas, wudhu menjadi batal.
c. Syafi’iyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan sendiri
dan orang lain, membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan mayat pun
membatalkan wudhu. Sebagai dasarnya adalah hadits : ”Siapa saja laki-laki yang
menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu”’.(HR,Lima Ahli Hadist). Sabda
Rasullah: “Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia
berwudhu, dan siapa saja wanita yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia
berwudhu.” (H.R.
Ahmad).
Sebagaimana
telah dijelaskan pada uraian dahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa pengahalang
batas, membatalkan wudhu. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk pengertian di
atas, baik menyentuh kemaluan anak kecil maupun orang mati. Hendaknya diingat
bahwa pengertian “farj” dalam hadits di atas adalah “qubul dan dubur”. Dengan demikian, menyentuh dubur pun
membatalkan wudhu.
d. Hambaliah pendapat
mereka sama dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang
telapak tangan pun membatalkan wudhu, sedangkan Syafi’iyah sentuhan dengan
telapak tangan bagian dalam, membatalkan wudhu, dengan belakang telapak tangan
tidak.[6]
6.
Keluarnya Mani (sperma), Madzi dan Wadzi.
Mani dapat
membatalkan wudhu, menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi menurut Syafi’I,
ia tidak membatalkan wudhu. Sedangkan menurut Imamiyah, mani itu hanya
diwajibkan mandi bukan berwudhu. Menurut empat mazhab madzi dan wadzi dapat
membatalkan wudhu. Hanya Maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar
madzi. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Berwudhu ialah membasuh sebagian anggota badan dengan air
mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan disertai niat untuk menghilangkan
hadats kecil.
2. Syarat-syarat sahnya seorang itu berwudhu diantaranya,
islam, tamyiz, tidak berhadats besar, dengan air mutlaq dan tidak ada hal-hal
yang menghalangi sampainya air ke kulit.
3.
Para imam empat madzhab berbeda pendapat dalam
mengenai batalnya wudhu.
B.
Kritik dan
Saran
Setelah
kita mengetahui hal yang membatalkan wudhu, semoga kita bisa menjadi umat
muslim yang mengerti dan mentaati apa yang telah disepakati bersama oleh para
pemimpin kita, untuk menunjang diterimanya ibadah kita oleh Allah Swt. Dengan
ini juga semoga membantu membuka wawasan kita. Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Habsyi, Muhammad
Bagir. 1999. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan.
Arifin,Dachlan. 1987. Pokok-pokok Bersuci
Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam.Yogyakarta : Dian
Fuad, Muhammad Fuad. 2007. Fiqih
Wanita Lengkap. Jombang: Lintas Media.
Kamal, Abu
Malik. 2007. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta: Pena.
Mughniyah,Muhammad
Jawad. 1996. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera.
Seadie, Ahmad.1996. Penuntun Shalat Lengkap. Jakarta:
Rica Grafika.
http://lussychandra.blogspot.co.id/2014/04/pekara-pekara-yang-dapat-membatalkan.html. Diunduh tanggal 28 Februari 2016 pukul 15.20
[1] Dr.Muh.Dachlan Arifin.Pokok-pokok Bersuci Dan
Hikmahnya Menurut Ajaran Islam.Dian Yogyakarta.1987.Hlm 42
[2] Ahmad Seadie, Penuntun Shalat Lengkap, (Jakarta: Rica Grafika). Hal
:22-23
[4] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh
Lima mAdzhab. (Jakarta : Lentera)hal 25
[6] http://lussychandra.blogspot.co.id/2014/04/pekara-pekara-yang-dapat-membatalkan.html. Diunduh 28 Feb 2016. Pukul 15.20.