Jumat, 20 Mei 2016

Makalah Perbandingan Madzhab tentang yang membatalkan Wudhu

BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wudhu adalah syari’at (tatanan) agama yang mempunyai makna bersih, baik bersih dari kotoran, najis, atau lainnya. Dengan melakukan wudhun seseorang diperbolehkan melakukan ibadah yang asalnya di larang sebab hadats kecil. Di syari’atkannya wudhu bersamaan dengan shalat lima waktu, yaitu ketika nabi Muhammad SAW melakukan isro’ mi’roj.
Namun sebenarnya Nabi sudah pernah melakukan wudhu sebelum isro’ mi’roj, yaitu ketika permulaan Nabi SAW di utus menjadi Nabi, kemudian beliau didatangi malaikat jibril untuk diajari wudhu yang kemudian beliau diajak untuk melakukan shalat dua raka’at (Shalat sunnah dua raka’at). Wudhu merupakan syari’at Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya, seperti memperluas basuhan muka dan memperpanjang basuhan tangan pada ajaran nabi kita.
Dengan melakukan wudhu sesuai dengan criteria yang ada di salah satu madzhab empat ( Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali) berarti penghalang ma’nawi yang melarang melakukan hal yang disyari’atkan suci telah sirna, sehingga diperbolehkan melaksanakan sholat, thowaf, atau yang lainnya dari hal-hal yang di larang sebab hadats kecil. Penghalang ma’nawi dapat kembali sebab melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu, diantaranya mengeluarkan sesuatu dari salah satu dua jalan (depan dan belakang), namun beragam perbedaan dikalangan madzhab alm arba’ah mengenai hal-hal yang termasuk kategori membatalkan wudhu.
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan wudhu?
2.      Apa saja yang membatalkan wudhu?
3.      Bagaimana pendapat para Imam Madzhab mengenai hal yang membatalkan wudhu?
B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui arti Wudhu.
2.      Untuk mengetahui hal-hal yang membatalkan wudhu.
3.      Untuk mengetahui pendapat para Imam Madzhab mengenai hal yang membatalkan wudhu.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wudhu
Menurut bahasa wudhu artinya bersih dan indah. Sedangkan menurut istilah wudhu ialah membasuh sebagian anggota badan dengan air mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan cara tertentu dan  dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil. Adapun syarat-syarat sahnya seorang itu berwudhu diantaranya:
1.      Islam
2.      Tamyiz
3.      Tidak berhadats besar
4.      Dengan air mutlaq
5.      Tidak ada hal-hal yang menghalangi sampainya air ke kulit.[1]
B.     Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
Ada beberapa hal yang dapay membatalkan wudhu, yaitu :
1.      Sesuatu yang keluar dari kubul atau dubur. Baik yang biasa keluar seperti kencing, kentut dan buang air besar, maupun yang tidak biasa keluar seperti darah, kerikil, nanah, dan ulat (keremi).
2.      Tidur.
3.      Hilang akal seperti gila, mabuk, pingsan.
4.      Bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, dengan syarat :
a.       Laki-laki dan perempuan itu sudah akhil baligh.
b.      Diantara kulit keduanya tidak ada kain atau apa saja yang membatasi.
c.       Bukan mukhrim.
d.      Dengan menggunakan kulit. Jika dengan rambut, gigi dan kuku maka tidak membatalkan
5.      Menyentuh kemaluan (kubul dan dubur) manusia dengan telapak tangan bagian dalam secara langsung tanpa penghalang, biak kemaluan wanita atau laki-laki, baik orang dewasa atau anak-anak, baik kemaluan sendiri atau orang lain, baik kemaluan orang hidup maupun orang yang sudah meninggal.[2]
6.      Keluarnya Mani (sperma), Madzi dan Wadzi.
C.    Pendapat Imam Madzhab tentang hal yang membatalkan Wudhu
1.      Keluar sesuatu dari dua jalan (kubul atau dubur).
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمُوْتَ: مَا اْلحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْضُرَطٌ
Artinya:
Shalat orang yang dalam keadaan hadats tidak diterima kecuali dia berwudhu. Seorang laki-laki dari hadramaut bertanya kepada Abu Hurairah, ‘apakah yang dimaksud hadats dalam hadits ini?’ Abu Hurairah menjawab, ‘kentut.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum muslimin telah sepakat bahwa keluarnya sesuatu dari dua jalan maka ia dapat membatalkan wudhu. Akan tetapi ada pengecualian dari hukum hadits diatas, yaitu bagi orang yang selalu hadats tanpa henti seperti orang yang beser dan sering kentut, aturan bagi orang-orang yang seperti itu sama dengan aturan bagi wanita yang keluar darah istihadhah.[3]
a.       Menurut Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hambali : keluarnya ulat, batu kecil, darah, dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu.
b.      Menurut Imam Maliki : tidak sampai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh didalam perut, tapi kalau tidak tumbuh didalamnya, seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari dubur, maka ia dapat membatalkan wudhu.[4]
2.      Tidur.
Para imam madzhab sepakat bahwa tidur sambil berbaring dan bersandar dapat membatalkan wudhu. Namun mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidur dalam shalat, misalnya ketika rukuk.
a.       Imam Hanafi : Kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadi batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barang siapa yang tidur pada saat sholat dan keadaannya tetap pada posisi seperti shalat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama.
b.      Imam Malik : tidur ketika rukuk dan sujud jika lama, membatalkan wudhu. Namun jika tidurnya ketika berdiri atau duduk maka wudhunya tidak batal. Membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan wudhu, begitu juga kalau tidur berat dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan waktunya panjang, ia dapat membatalkan wudhu, baik anusnya tertutup maupun terbuka
c.       Imam Syafi’I dalam qaul jaded : jika tidurnya ditempat duduknya maka wudhunya tidak batal. Namun jika tidak wudhunya batal. Sedangkan dalam qoul qodim, beliau berpendapat bahwa tidur dalam keadaan apapun didalam sholat tidak membatalkan wudhu. Tidak ada perbedaan antara tidur lama dan tidur singkat, meskipun ia bermimpi, selama pantatnya tetap melekat pada tempat duduknya, sebab tidur itu sendiri bukanlah hadats, melainkan dimungkinkan timbulnya hadats.
d.      Imam Hambali :  jika tidurnya ketika berdiri, duduk, rukuk, dan sujud itu lama maka wudhunya batal. Menurut Al-khaththabi inilah pendapat paling shaih dari dua riwayat Imam Hambali.
3.      Hilang akal seperti gila, mabuk, pingsan.
Kondisi ini bisa membatalkan wudhu secara mutlak berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya adalah karena hilangnya kesadaran pada tiga kondisi itu lebih hebat daripada hiangnya kesadaran karena tidur. Firman Allah :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi, dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(Q.S An-Nisa:43)
4.      Bersentuhan
Bersentuhan antara kulit lelaki dan perempuan yang bukan muhrim dan masing-masing sudah baligh.
a.       Imam Syafi’i mengatakan   bahwa persentuhan kulit antara laki-laki dewasa dan wanita dewasa (termasuk istri) membatalkan wudhu, walaupun tanpa dibarengi rangsangan syahwat.[5]  Tapi jika bukan wanita lain seperti saudara wanita maka tidak batal wudhunya.
b.      Imam Hanafi mengatakan wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
c.       Imam Maliki lebih kondisional dalam menyikapi hal ini, yakni bersentuhan antara lelaki dan perempuan itu membatalkan wudhu apabila:
a)      Lelaki yang menyentuh perempuan itu sudah baligh
b)      Sentuhan itu bermaksud untuk mendapatkan kenikmatan, atau tidak bermaksud begitu, tapi ternyata merasa nikmat.
c)      Perempuan yang disentuh kulitnya terbuka atau berpakaian tapi dengan kain yang tipis. Jadi kalau kain penutup itu tebal, maka tidak batal wudhuya, kecuali bila persentuhan itu dengan cara memegang salah satu anggota tubuh yang bertujuan untuk mendapat kenikmatan atau ternyata merasa nikmat meski awalnya tidak bermaksud demikian.
d)     Orang yang disentuh tergolong perempuan yang sudah dapat membangkitkan syahwat lelaki.
d.      Imam Hambali dengan tegas menetapkan bahwa sentuhan antara lelaki dan perempuan jelas membatalkan wudhu. Apabila sentuhan itu terjadi dengan syahwat tanpa ada penghalang. Tidak peduli apakah yang bersentuhan itu masih muhrim atau bukan, dan apakah yang disentuh itu masih hidup atau sudah mati, masih muda atau sudah tua, telah dewasa maupun masih kecil, asal telah mencapai umur yang biasanya sudah dapat menimbulkan syahwat. Madzhab ini menitik beratkan pada timbulnya syahwat atau tidak, jika sentuhannya timbul syahwat maka batal. Dalil yang menjadi pijakan beliau adalah : Artinya : “apabila kamu semua dalam keadaan sakit atau bepergian atau setelah buang hajat atau menyentuh perempuan…”(Al-maidah :6)
5.      Menyentuh Kemaluan
a.       Hanafiyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan, tidak membatalkan wudhu maupun menyentuh kemaluan sendiri atau orang lain. Mereka berpegang kepada hadits yang artinya: Seorang bertanya kepada Nabi: “ Saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya sewaktu shalat, haruskah ia berwudhu? Nabi menjawab, “Tidak, sesungguhnya ia (kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR.Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban).
b.      Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan wudhunya batal dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Orang itu menyentuh kemaluannya sendiri.
2.      Orang itu sudah balig.
3.      Sentuhan itu tanpa batas penghalang.
4.      Sentuhan itu dengan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung jari tangan.
Golongan Malikiyah, tidak mempersoalkan, apakah sentuhan itu merasakan nikmat atau tidak, asal sudah memenuhi ketentuan di atas, wudhu menjadi batal.
c.       Syafi’iyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan sendiri dan orang lain, membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan mayat pun membatalkan wudhu. Sebagai dasarnya adalah hadits : ”Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu”’.(HR,Lima Ahli Hadist). Sabda Rasullah: “Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu, dan siapa saja wanita yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (H.R. Ahmad).  
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian dahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa pengahalang batas, membatalkan wudhu. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk pengertian di atas, baik menyentuh kemaluan anak kecil maupun orang mati. Hendaknya diingat bahwa pengertian “farj” dalam hadits di atas adalah “qubul dan dubur”. Dengan demikian, menyentuh dubur pun membatalkan wudhu.
d.      Hambaliah  pendapat mereka sama dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak tangan pun membatalkan wudhu, sedangkan Syafi’iyah sentuhan dengan telapak tangan bagian dalam, membatalkan wudhu, dengan belakang telapak tangan tidak.[6]
6.      Keluarnya Mani (sperma), Madzi dan Wadzi.
Mani dapat membatalkan wudhu, menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi menurut Syafi’I, ia tidak membatalkan wudhu. Sedangkan menurut Imamiyah, mani itu hanya diwajibkan mandi bukan berwudhu. Menurut empat mazhab madzi dan wadzi dapat membatalkan wudhu. Hanya Maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Berwudhu ialah membasuh sebagian anggota badan dengan air mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil.
2.      Syarat-syarat sahnya seorang itu berwudhu diantaranya, islam, tamyiz, tidak berhadats besar, dengan air mutlaq dan tidak ada hal-hal yang menghalangi sampainya air ke kulit.
3.      Para imam empat madzhab berbeda pendapat dalam mengenai batalnya wudhu.
B.     Kritik dan Saran
Setelah kita mengetahui hal yang membatalkan wudhu, semoga kita bisa menjadi umat muslim yang mengerti dan mentaati apa yang telah disepakati bersama oleh para pemimpin kita, untuk menunjang diterimanya ibadah kita oleh Allah Swt. Dengan ini juga semoga membantu membuka wawasan kita. Aamiin.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Habsyi, Muhammad Bagir. 1999. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan.
Arifin,Dachlan. 1987. Pokok-pokok Bersuci Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam.Yogyakarta : Dian
Fuad, Muhammad Fuad. 2007. Fiqih Wanita Lengkap. Jombang: Lintas Media.
Kamal, Abu Malik. 2007. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta: Pena.
Mughniyah,Muhammad Jawad. 1996.  Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera.
Seadie, Ahmad.1996. Penuntun Shalat Lengkap. Jakarta: Rica Grafika.





[1] Dr.Muh.Dachlan Arifin.Pokok-pokok Bersuci Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam.Dian Yogyakarta.1987.Hlm 42
[2] Ahmad Seadie, Penuntun Shalat Lengkap, (Jakarta: Rica Grafika). Hal :22-23
[3] Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita,  (Jakarta: Pena, 2007), hal. 28-29.
[4] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima mAdzhab. (Jakarta : Lentera)hal 25
[5] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar